Showing posts with label Amalan Ibadah. Show all posts
Showing posts with label Amalan Ibadah. Show all posts

Apakah Shalat id Bisa Menggantikan Shalat Dhuha?


shalat dhuha di hari raya

Benarkah shalat id menggantikan shalat dhuha?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Dalam syariat kita ada shalat yang dia menggantikan posisi shalat yang lain. Seperti shalat jumat yang menggantikan posisi shalat dzuhur. Sehingga orang yang sudah shalat jumat, tidak disyariatkan untuk melakukan shalat dzuhur.

Sebaliknya, ketika shalat itu tidak saling menggantikan, maka masing-masing dianjurkan untuk dikerjakan sendiri-sendiri. Diantaranya hubungan antara shalat id dan shalat dhuha. Karena keduanya tidak saling menggantikan, maka masing-masing dianjurkan sendiri-sendiri.

 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjJmrCLqT3X9SHSS7-LW62qb81mZ1RV9IprtFIlIeqqsnlJBX55DAmbkP6aqv1WKGQX6qgiTYsRuza9u30HqypqZb0ePRZFjg_lYqeAqXWLOphjto-pdi4lPIx_nPDPkkXW-MdAfFyBTSw/s1600/sholat-dhuha.jpg

Dalam Fatwa Lajnah terdapat pertanyaan,

هل صلاة العيدين أو الاستسقاء تنوب عن صلاة الضحى أم لا‏؟‏

Apakah shalat id atau istisqa bisa menggantikan shalat dhuha atau tidak?

Jawaban Lajnah Daimah,

لا تنوب صلاة العيد أو الاستسقاء عن صلاة الضحى‏.

“Shalat id dan istisqa tidak bisa menggantikan shalat dhuha..” (Fatwa Lajnah, no. 6936)

Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah dinyatakan,

فصلاة العيد لا تنوب عن صلاة الضحى، فكلاهما عبادة مستقلة مطلوبة لذاتها, فصلاة الضحى من السنن الثابتة بفعل رسول الله صلى الله عليه وسلم وقد رغب في المواظبة عليها، أما صلاة العيد فللعلماء فيها ثلاثة مذهب: الأول أنها  سنة, والثاني أنها فرض عين, والثالث أنها فرض كفاية

Shalat id tidak bisa menggantikan shalat dhuha. Masing-masing ibadah yang berdiri sendiri, masing-masing dianjurkan. Shalat dhuha termasuk sunah yang dianjurkan berdasarkan praktek Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan dianjurkan untuk dirutinkan. Sementara shalat id, ada 3 pendapat ulama di sana: pertama, sunah, kedua, wajib ain, dan ketiga, fardhu kifayah.  (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 227446)

Karena itu, shalat dhuha tetap dianjurkan setelah melaksanakan shalat id.

Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits




Sumber | republished by (YM) Yes Muslim !

Pelaksanaan Witir, Lebih Baik di Awal atau Akhir Malam?

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjhujjGXGyMZamcnrSQP_r1CTBiuWPPZcADK_2P8OGRw-mcw3LBYGAuHCjOq7NVKm374snfb9vBIGLNcWSD9v4iFxt-lvvQY2LkfAHPQw8UvhKZgv9frzVHvCgduyp1iZUX5tZoiiHVQpo/s640/keajaiban-shalat-tahajud.jpg

SERINGKALI banyak dari kita yang mendebatkan sesuatu. Terutama perihal ibadah. Tetapi, terkadang mereka lupa, bahwa amalan baik itu ada bukan untuk diperdebatkan, tetapi dilaksanakan. Salah satunya mengenai shalat witir.

 Rasulullah ﷺ menganjurkan kita untuk melaksanakan shalat sunnah yang satu ini. Hanya saja, ada orang-orang yang memperdebatkan perihal waktu pelaksanaannya. Ada yang mengatakan bahwa pelaksanaannya sebelum tidur setelah shalat isya. Ada pula yang mengatakan sesudah tidur setelah shalat tahajud. Lantas, mana yang benar?

Keduanya tidak ada yang salah. Sebab, keduanya juga dilakukan oleh sahabat dekat Rasulullah ﷺ, yakni Abu Bakar Ash Shiddiq dan Umar bin Khaththab.

Abu Qatadah Radhiyallahu ‘Anhu, Imam Abu Dawud, dan Imam Malik bin Anas meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bertanya kepada Abu Bakar, “Kapan engkau mendirikan shalat witir?”

Sahabat sekaligus mertua Nabi ﷺ ini menjawab, “Di awal malam.” Laki-laki yang langsung percaya dengan ajaran Nabi nan mulia ini senantiasa mendirikan shalat witir sebelum tidur.

Tidak jauh dari lokasi sahabat mulia Abu Bakar berdirilah sosok gagah nan tegap dan pemberani, Umar. Kepada laki-laki yang menjadi Khalifah kedua kaum Muslimin ini, Rasulullah ﷺ menyampaikan pertanyaan serupa, “Kapan engkau mendirikan shalat witir?”

Dengan tegas bertabur keyakinan penuh di hati, Umar yang bergelar al-Faruq (pembeda antara kebenaran dan kebatilan) ini berkata, “Di akhir malam.” Ia memilih tidur di awal malam agar dapat bangun dan melakukan munajat kepada Allah Ta’ala dalam tahajjud dan witir di penghujung malam yang terakhir.

 Apa yang dikerjakan oleh Abu Bakar ini merupakan cerminan sifat hazm. Apa itu? Yakni keseriusan terhadap sesuatu dan waspada agar sesuatu itu tidak terlepas dari genggamannya. Ia memilih mendirikan witir di awal malam sebab dia tidak bisa memastikan akan bangun atau tidak di sepertiga malam yang terakhir. Padahal, beliau merupakan sahabat yang kualitas ibadahnya amat mengesankan, senantiasa bangun di akhir malam untuk bermunajat kepada Allah Ta’ala.

 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjbW1Z8s0kHO9pqVUfwmb1eABswfBlIeQJSqBNGM_CA7MSrXTgtZkzdYY5Tf-of3eQN_3SFs26BGJEK7MJ_13sZcB94G3WhzkUHTALMMwhlhpgQ5FQBAj-8zFlcKxXTLR6ji6jwOSIp0-M/s1600/Ilustrasi+sholat+witir.jpg

Sedangkan Umar bin Khaththab memilih mengakhirkan witir di ujung malam, di sepertiga yang terakhir sebagai salah satu bentuk ‘azm. Yakni kesungguhan, kesabaran, dan kemampuan. Umar dengan sifat kesatria dan keberaniannya benar-benar berupaya hingga terbangun di akhir malam melakukan tahajjud yang diakhiri dengan rakaat witir.

Masing-masing dari dua cara beribadah ini, Rasulullah ﷺ mengapresiasinya. Tidak ada yang salah, bahkan keduanya sama mulianya. Abu Bakar dengan kehati-hatiannya dan Umar dengan kesungguhan dan keberaniannya.

Jadi, apa yang perlu diperdebatkan? Toh, ibadah ini bernilai mulia di sisi Allah Ta’ala. Dan kita sebagai hamba-Nya, sudah selayaknya mengikuti apa yang diperintahkan oleh-Nya. Mau mengikuti cara Abu Bakar atau pun Umar, itu sama baiknya, tergantung dari keinginan kita sendiri. Yang kurang baik, ialah dia yang tidak melaksanakan amalan sunnah ini.



Sumber | republished by (YM) Yes Muslim !

Tips Dan Trik Mengencangkan Hubungan dengan Al-Quran


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEju0QHFMc29gdf_glM2NiD_3nryi0oVkDxlT_Vz-AJM4c9BhKYTHE9EFWRvgl-_Wc45XsHmb76jOgA3GXeiQ1VSK6uh1QglXa_25ORhE48E1XB9bVyaBeXcEtMLatudkSrPekWlZXcZPr8/s1600/Rasakan-Keutamaan-Membaca-Alquran-dengan-Rutin-Membaca-Alquran.jpg

APAKAH  sahabat pembaca adalah orang yang jarang memiliki waktu untuk berinteraksi dengan al-Quran? Ataukah sahabat adalah orang yang sangat ingin membaca quran dengan tartil, namun masih malas berdisiplin menyentuh kitab suci mulia ini? Ataukah sudah rajin memiliki komitmen lima menit per-hari membaca beberapa ayat cintaNya?

Ataukah ada dalam pikiran sahabat, terasa tidak ada ‘dag dig dug’nya atau belum adanya efek ‘yang cetar’ di dalam jiwa ketika membaca al-Quran? Sementara saya beberapa kali menjumpai sobat muallaf di Eropa yang menjadi muslim sejati setelah ‘betapa antusias dirinya dengan al-Quran’ ini, masyaAllah!

Apapun masalahnya, al-Quran adalah bekal kita menuju cinta hakiki ilahi Robbi, sehingga pasti dalam jiwa ini menginginkan hubungan yang akrab dengan al-Quran. Berikut ini saya mewawancarai beberapa para penjaga al-quran nan sholih sholihah (semoga kita pun dapat menjadi ahlul quran, aamiin…. ), tips mengencangkan hubungan dengan al-Quran, di antaranya sebagai berikut :

1. Sebelum menyentuh kitab Allah al karim ini, periksalah hati kita. Kuncinya ada pada hati, niatkan karena Allah ta’ala semata. Jujurlah pada nurani, mengapa kita ingin membacanya? Ingatkan diri bahwa nabi kita, Muhammad shallallahu alaihi wa sallam adalah ‘quran berjalan’. Tatkala hati jernih membaca quran, meresapi makna ayatNya, seolah langsung bercengkerama dengan Sang maha pencipta kita, maka al-quran tak hanya dalam bacaan sang lidah, melainkan jiwa tunduk padaNya. Hal itu tercermin dalam prilaku keseharian pula. Berkaca diri, “Ketika makin akrab dengan al-quran, ‘sepantasnya’ makin takut pada azab Allah ta’ala, makin cinta pada akhirat, dan makin cantik budi pekerti, InsyaAllah!”

2. Menjaga wudhu, utamakan berwudhu sebelum mengulang hafalan atau akan membaca kitab Allah SWT. Inilah interaksi dan komunikasi dengan ‘Sang Pemilik Semesta’, sucikan jiwa raga, persiapkan penampilan terbaik dengan adab yang baik sebelum memulai ‘koneksi’ dengannya.

3. Mulailah Berkomitmen “Tiga Menit Sehari!”, tidak perlu muluk-muluk, jika masih susah mengatur waktu kerja. Silakan awali dengan ‘hanya tiga menit saja dalam sehari’, meski hanya membaca satu ayat saja, dear… Nikmati tiga menit itu dengan mendalami makna ayatNya, rasakan komunikasi yang mesra denganNya, maka dengan izin Allah azza wa jalla, pasti kelak ‘ketagihan’, ubah jadwal menjadi ’10 menit sehari’, lanjutkan ’15 menit dalam sehari’, ’30 menit sehari’, dst bisa sampai satu jam per hari yang kemungkinan ‘khatam satu juz dalam sehari’, masyaAllah!

4. Temui guru al-Quran, camkan pada diri untuk memahami apa yang dibaca. Sungguh ketika sama sekali tak mengerti bahasa Arab pun, namun karena kehendak Alla ta’ala, bisa saja kita menangis tersedu-sedu atau tersenyum dihibur oleh ayat-ayat suci nan indah ini. Maka agar penafsiran tidak keliru, mari menemui guru al-Quran dan berusaha untuk meningkatkan kecintaan pada al-Quran dengan rajin ‘memperdalam samudera ilmu’ dari para gurunda shohibul qur’an.

5. Ingat dan tumpukan perhatian, bahwa Allah azza wa jalla sedang berinteraksi dengan kita, ini lebih menarik dari pada hoby fotografi, mengumpulkan majalah dan komik, atau pun mengoleksi kaset dan CD para artis! Satu penyemangat penting : al-Quran kelak menjadi syafaat, dear! Maka renungkanlah, seberapa banyak waktu ‘berharga yang kita berikan buat al-Quran’, apakah tak lebih banyak dari pada waktu buat sms-an, chatting-an FB, atau bernostalgia dengan teman lama melalui foto-foto masa lalu kita?! Faghfirlii, sungguh kita rugi ketika ‘mati-matian’ mengorbankan waktu untuk segala sesuatu ‘yang tidak menjadi bekal buat dibawa mati’. Ampuni kami ya Allah…

 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgB0eTmWXiVCl4dsnduA82sFPhwpEqNPu8U97Pf2oP6Ofoll0aPW4av2LJOYcN2k0rS3ErS9m1-ol0Ji8dbftjjoz4s-LPHUulvhq_v0BKxhlysopzRsjoyyeClCehTWMNPwu-CYPCn81Q/s640/membaca-al-quran-di-gadget.jpg

6. Baca dan Dengar al-Quran dari sahabat-sahabat pecinta al- Quran sesering mungkin. Di mobil, dengarkan murottal. Di sela menunggu urusan kerja, ulangi hafalan. Di saat menyiram tanaman, memasak, seraya mengulang-ulangi bacaan quran atau dengarkan murottal. Wujudkan agenda mingguan, tiga-harian, atau bulanan yang rutin dan keep istiqomah dalam menjalin komunikasi dengan para pecinta al-Quran. Saling dukung akan suasana tadabur al-quran adalah salah satu cara untuk membuat hati kian erat ‘koneksi’ dengan al-Quran, insyaAllah!

7. Tentu senantiasa selipkan doa kepadaNya, Ask Allah to guide you when you read the Quran, dear… ya muqolibal qulub tsabit qolbi ala diinik, semoga ada kemantapan hati untuk senantiasa merindui al-Quran. Sekalinya kita condong penuh cinta kepada al-Quran, maka jagalah perasaan terbaik ini. Jaga dan mantapkan jiwa untuk selalu memohon keteguhan hingga meraih husnul khotimah. Untuk itulah, kita mesti tetap saling menasehati (dalam kebenaran dan dalam kesabaran) dengan terus mendatangi majelis-majelis ilmu, makin saling mencintai para pecinta al-Quran, dan tentunya saling mendo’akan. Insya Allah…

Faghfirlana, Semoga secoret tips ini dapat bermanfaat buat para sahabat al-Quran, aamiin.
Mari ber’azzam untuk senantiasa akrab dengan al-Quran, barokallohu feekum…

(@bidadari_Azzam, KL, dzulqo’dah 1437h, temanalquran.com/ salam Ukhuwah!)

Sumber | republished by (YM) Yes Muslim !

Keutamaan Shalat Dhuha, Sebagai Pengganti Sedekah Persendian


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhWQRCZPTFBoaOjMkGI0eB2vOFetoJiNpVFyd_ov1swVhwLYgIyzU8Sll_y77UZ0fEd1_ToUaIJUiCrk7GpceZqi4XTjm2l4OM_-61en0FcK7Sfrh-dTYsXdyI1NnvccW08YFkc8J8793U/s1600/solat-duha.jpg

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc

Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyariatkan shalat-shalat sunnah untuk menyempurnakan ibadah shalat wajib yang terkadang tidak dapat sempurna pahalanya. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ فَإِنْ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ قَالَ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَيُكَمَّلَ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنْ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ يَكُونُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ

Sesungguhnya amalan yang pertama kali dihisab dari seorang hamba ialah shalatnya. Apabila baik, maka ia telah beruntung dan selamat; dan bila rusak, maka ia telah rugi dan menyesal. Apabila kurang sedikit dari shalat wajibnya , maka Rabb Azza wa Jalla berfirman, “Lihatlah, apakah hamba-Ku memiliki shalat tathawwu’ (shalat Sunnah),” lalu disempurnakanlah dengannya yang kurang dari shalat wajibnya tersebut, kemudian seluruh amalannya diberlakukan demikian. [HR at-Tirmidzi]. Dan di antara yang disyariatkan ialah shalat Dhuha.

KEUTAMAAN SHALAT DHUHA
1. Mencukupkan sedekah sebanyak persendian manusia, yaitu 360 persendian, sebagaimana dijelaskan dalam hadits:

عَنْ أَبِي ذَرٍّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنْ الضُّحَى. (أخرجه مسلم).

Dari Abu Dzar, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau telah bersabda: “Di setiap pagi, ada kewajiban sedekah atas setiap persendian dari salah seorang kalian. Setiap tasbiih adalah sedekah, setiap tahmiid adalah sedekah, setiap tahliil adalah sedekah, setiap takbiir adalah sedekah, amar makruf nahi mungkar adalah sedekah. Dan dapat memadai untuk semua itu, dua rakaat yang dilakukan pada waktu Dhuha”.[1]

Juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

فِي الْإِنْسَانِ ثَلَاثُ مِائَةٍ وَسِتُّونَ مَفْصِلًا فَعَلَيْهِ أَنْ يَتَصَدَّقَ عَنْ كُلِّ مَفْصِلٍ مِنْهُ بِصَدَقَةٍ قَالُوا وَمَنْ يُطِيقُ ذَلِكَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ قَالَ النُّخَاعَةُ فِي الْمَسْجِدِ تَدْفِنُهَا وَالشَّيْءُ تُنَحِّيهِ عَنْ الطَّرِيقِ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فَرَكْعَتَا الضُّحَى تُجْزِئُكَ

“Dalam diri manusia ada 360 persendian, lalu diwajibkan sedekah dari setiap sendinya,” mereka bertanya,”Siapa yang mampu demikian, wahai Nabi Allah?” Beliau menjawab,”Memendam riak yang ada di masjid dan menghilangkan sesuatu (gangguan) dari jalanan. Apabila tidak mendapatkannya, maka dua raka’at shalat Dhuha mencukupkanmu.” [2]

2. Allah Subhanahu wa Ta’alamenjaga orang yang shalat Dhuha empat rakaat pada hari tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam hadits:

عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ أَوْ أَبِي ذَرٍّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّهُ قَالَ ابْنَ آدَمَ ارْكَعْ لِي مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ أَكْفِكَ آخِرَهُ أخرجه الترمذي. قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ

Dari Abu Dardaa’ atau Abu Dzar, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dari Allah Subhanahu wa Ta’alabahwa Allah berfirman: “Wahai Bani Adam, shalatlah untuk-Ku pada awal siang hari empat rakaat, niscaya Aku menjagamu sisa hari tersebut”.[3]

3. Shalat Dhuha merupakan shalat al-awwâbîn. Yaitu orang yang banyak bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang berbunyi:

لاَ يُحَافِظُ عَلَى صَلاَةِ الضُّحَى إِلاَّ أَوَّابٌ قَالَ وَهِيَ صَلاَةُ الأَوَّابِيْنَ. (أخرجه الحاكم).

Tidaklah menjaga shalat Dhuha kecuali orang yang banyak bertaubat kepada Allah.[4]

HUKUM SHALAT DHUHA[5]
Para ulama berselisih tentang hukum shalat Dhuha dalam beberapa pendapat sebagai berikut.

1. Hukumnya sunnah mutlak, dan disunnahkan melakukannya setiap hari.
Demikian ini madzhab mayoritas ulama, yang berargumentasi dengan beberapa dalil.

a. Keumuman hadits-hadits tentang keutamaan shalat Dhuha sebagaimana telah disebutkan terdahulu.

b. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang berbunyi:

أَوْصَانِي خَلِيلِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلَاثٍ صِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَكْعَتَيْ الضُّحَى وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَنَامَ

Kekasihku Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berwasiat kepadaku dengan tiga hal: puasa tiga hari setiap bulan, dua rakaat Dhuha dan Witir sebelum tidur. [Muttafaqun ‘alaihi].

Syaikh Ibnu ‘Utsaimîn rahimahullah menyatakan, hadits ini menunjukkan bahwa shalat Dhuha adalah sunnah mutlak yang dilakukan setiap hari.[6]

c. Hadits Mu’âdzah al-‘Adawiyah ketika bertanya kepada ‘Âisyah dengan sebuah pertanyaan:

كَمْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي صَلَاةَ الضُّحَى قَالَتْ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ وَيَزِيدُ مَا شَاءَ

“Dahulu, berapa rakaat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Dhuha?” Beliau menjawab,”Empat rakaat, dan menambah sesukanya”.[7]

2. Hukumnya sunnah, namun tidak dilakukan setiap hari.

3. Hukumnya bukan sunnah, inilah pendapat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma

4. Shalat Dhuha hanya disunnahkan karena faktor tertentu.

Pendapat ini dirajihkan Ibnu Taimiyyah rahimahullah dan Ibnul-Qayyim rahimahullah.

Menurut beliau (Ibnul-Qayyim), barang siapa yang menelaah hadits-hadits marfu’ dan atsar sahabat, tentu akan menyimpulkannya hanya mendukung pendapat ini. Adapun hadits-hadits yang berupa anjuran dan wasiat untuk melakukannya, maka yang shahîh darinya, seperti hadits Abu Hurairah dan Abu Dzar Radhiyallahu anhuma tidak menunjukkan jika shalat Dhuha sebagai sunnah yang terus dikerjakan untuk setiap orang.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan kepada Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dengan wasiat itu, karena telah diriwayatkan bahwa Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dahulu memilih belajar hadits pada malam hari dari pada shalat, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan melakukannya pada waktu Dhuha sebagai ganti shalat malam. Oleh karena itu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk tidak tidur kecuali setelah berwitir, dan tidak memerintahkan hal itu kepada Abu Bakar, ‘Umar dan seluruh sahabat lainnya radhiyallahu ‘anhum.[8]

Sedangkan Ibnu Taimiyyah rahimahullah, setelah menjelaskan sunnahnya shalat Dhuha, beliau rahimahullah menyatakan, masalahnya apakah yang lebih utama melakukannya secara terus-menerus ataukah tidak, karena mencontoh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Demikian ini yang menjadi perselisihan para ulama. Yang rajih dikatakan, barang siapa yang kontinyu melakukan shalat malam, maka itu mencukupinya dari melakukan shalat Dhuha terus-menerus, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu demikian. Barang siapa yang tidak melakukan shalat malam, maka shalat Dhuha menjadi pengganti shalat malam.[9]

Adapun yang rajih dari pendapat-penpat tersebut, Insya Allah adalah pendapat pertama, karena keumuman anjuran melakukan shalat Dhuha. Demikian pula yang dirajihkan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. Beliau menyatakan, yang rajih ialah sunnah mutlak yang terus-menerus dilakukan. Sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ

(Setiap hari wajib bersedekah bagi setiap persendian dari salah seorang kalian).

Para ulama menjelaskan, bahwa pada tubuh manusia terdapat 360 jumlah persendian, sehingga setiap orang harus bersedekah 360 sedekah setiap hari. Yang dimakusdkan dengan sedekah ini bukan berupa harta, tetapi berupa amalan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَفِي كُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنْ الضُّحَى

(Setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, amar makruf nahi mungkar adalah sedekah. Mencukupkan dari itu semua dua rakaat yang dilakukan di waktu Dhuha).

Berdasarkan hadits ini, maka kami berpendapat bahwa hukum shalat Dhuha ialah sunnah yang selalu dikerjakan, karena kebanyakan manusia tidak mampu memberikan sedekah hingga 360 sedekah.[10] Wallahu a’lam.

 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjk_LCNV89g9jEGFsrUXiLB2iF6eY0-KpdESIAse_D0N1DsyAxUk2AvwfdxHua8kPSfxGiVkqFk6A29lmt_eGMtUXwj3Jh-v8cNtCJu-WgYxj0iJlPwX1McjaFSjUk9U2GPW1n2VeB6ji4w/w1200-h630-p-nu/hikmah+dan+keutamaan+sholat+dhuha.jpg

WAKTU PELAKSANAAN SHALAT DHUHA
Waktu shalat Dhuha dimulai dari terbitnya matahari hingga menjelang matahari tergelincir (zawâl). Sedangkan akhir waktu Dhuha, yaitu dengan tergelincirnya matahari yang menjadi awal waktu Zhuhur.

Secara rinci Syaikh Ibnu ‘Utsaimîn menjelaskan bahwa waktu Dhuha berawal setelah matahari terbit seukuran tombak, yaitu sekitar satu meter. Adapun dalam perhitungan jam, yang ma’ruf ialah sekitar 12 menit, atau untuk lebih hati-hati sekitar 15 menit. Apabila telah berlalu 15 menit dari terbit matahari, maka hilanglah waktu terlarang dan masuklah waktu untuk bisa menunaikan shalat Dhuha. Sedangkan akhir waktunya, ialah sekitar sepuluh menit sebelum matahari tergelincir. [11]

Dalil yang menjadi penetapan awal waktu Dhuha, yaitu hadits Abu Dzar yang berbunyi:

عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّهُ قَالَ ابْنَ آدَمَ ارْكَعْ لِي مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ أَكْفِكَ آخِرَهُ أخرجه الترمذي.

Dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwa Allah berfirman: “Wahai Bani Adam, shalatlah untuk-Ku pada awal siang hari empat rakaat, niscaya Aku menjagamu pada sisa hari tersebut”.

Adapun jeda sebelumnya, karena ada larangan shalat sebelum matahari tergelincir. Oleh karena itu, Syaikh Ibnu ‘Utsaimîn rahimahullah menyatakan, “Jika demikian, waktu shalat Dhuha dimulai setelah keluar dari waktu larangan pada awal siang hari (pagi hari) sampai adanya larangan saat tengah hari”.[12]

WAKTU PALING UTAMA
Adapun waktu paling utama dalam pelaksanaan shalat Dhuha ialah di akhir waktunya. Demikian menurut penjelasan Syaikh Ibnu ‘Utsaimîn rahimahullah, dan hal ini dijelaskan oleh hadits:

أَنَّ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ رَأَى قَوْمًا يُصَلُّونَ مِنْ الضُّحَى فَقَالَ أَمَا لَقَدْ عَلِمُوا أَنَّ الصَّلَاةَ فِي غَيْرِ هَذِهِ السَّاعَةِ أَفْضَلُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ

Sesungguhnya Zaid bin Arqam melihat satu kaum melakukan shalat Dhuha, lalu ia berkata: “Apakah mereka belum mengetahui bahwa shalat pada selain waktu ini lebih utama? Sesungguhnya, dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, shalat al-awwabîn (ialah) ketika anak onta kepanasan”.[14]

JUMLAH RAKA’AT DAN TATA CARA SHALAT DHUHA
Seorang muslim disyariatkan melakukan shalat Dhuha dua rakaat, atau empat, atau enam, atau delapan, atau lebih tanpa ada batasan tertentu. Inilah yang dirajihkan Syaikh Ibnu ‘Utsaimîn rahimahullah sebagaimana beliau telah menyatakan, bahwa pendapat yang benar, tidak ada batasan maksimalnya, karena ‘Aisyah berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الضُّحَى أَرْبَعًا وَيَزِيدُ مَا شَاءَ الله

(Dahulu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat Dhuha empat rakaat, dan menambahnya sangat banyak).[15]

Seandainya seseorang mengerjakannya sejak matahari terbit seukuran tombak sampai menjelang matahari tergelincir, misalnya 40 rakaat, maka semua ini termasuk dalam shalat Dhuha.[16]

Adapun pelaksanaannya, semua dilakukan dengan dua rakaat dua rakaat berdasarkan keumuman sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

صَلَاةُ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ مَثْنَى مَثْنَى

Shalat malam dan siang adalah dua rakaat dua rakaat.[17]

Demikianlah beberapa penjelasan mengenai shalat Dhuha, semoga bermanfaat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XI/1428/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. HR Muslim, kitab Shalât al-Musâfirîn wa Qashruha, Bab: Istihbâb Shalat ad-Dhuha, hadits No. 720.
[2]. HR Abu Dawud no. 5242 dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni dalam kitab Irwâa`ul-Ghaliil, 2/213 dan at-Ta’liq ar-Raghib, 1/235.
[3]. HR at-Tirmidzi, kitab Shalât, Bab: Mâ Jâ`a fi Shalât ad-Dhuha, no. 475. Abu ‘Isa berkata: “Hadits hasan gharib”. Hadits ini dishahîhkan Ahmad Syakir dalam tahqiq beliau atas kitab at-Tirmidzi. Juga dishahihkan Syaikh al-Albâni dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzi, 1/147.
[4]. HR al-Hâkim dalam al-Mustadrak, 1/314. Syaikh al-Albâni menilai sebagai hadits hasan dalam Silsilah al-Ahâdits ash-Shahîhah no. 1994; lihat 2/324.
[5]. Lihat asy-Syarhu al-Mumti’, 4/115-117. Shahih Fiqhis-Sunnah, 1/422-424. Zâdul-Ma’âd, 1/318-348.
[6]. Asy-Syarhul-Mumti’, 4/116.
[7]. HR Muslim, kitab Shalaat al-Musâfirîn wa Qashruha, Bab: Istihbâb Shalât ad-Dhuha, hadits no. 719.
[8]. Zâdul-Ma’âd, 1/346.
[9]. Majmu’ Fatâwâ, 22/284.
[10]. Asy-Syarhul-Mumti’, 4/117.
[11]. Lihat asy-Syarhul-Mumti’, 4/122-123.
[12]. Asy-Syarhul-Mumti’, 4/123.
[13]. Asy-Syarhul-Mumti’, 4/123.
[14]. HR Muslim, kitab Shalat al-Musafirin wa Qashruha, Bab: Shalat al-Awwabina Hiina Tarmidhu al-Fishâl, no. 748.
[15]. HR Muslim, kitab Shalat al-Musafirin wa Qashruha, Bab: Istihbâb Shalat ad-Dhuha, no. 719.
[16]. Asy-Syarhul-Mumti’, 4/119.
[17]. HR an-Nasâ`i, dalam kitab Qiyâmul-Lail wa Tathawu’ an-Nahar, Bab: Kaifa Shalatul-Lail, 3/227. Ibnu Majah dalam kitab Iqâmat ash-Shalat was-Sunnah fî ha, Bab: Mâ Jâ fî Shalatul-Lail wan-Nahâr Matsna-Matsna, no. 1322. Dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Shahîh Ibnu Majah, 1/221.




Sumber | republished by (YM) Yes Muslim !

Kategori

Kategori