Integritas dan kesederhanaan Muslich Bambang Luqmono (MBL) ternyata betul-betul nyata dan bukan pencitraan. Selama bertahun-tahun menjadi hakim, dia selalu naik sepeda onthel ke kantor.
Hakim tinggi Muslich Bambang Luqmono (MBL) adalah seseorang yang menjadi ketua majelis kasus Nenek Minah melenggang masuk bursa hakim agung.
MBL dikenal sederhana, tidak punya kendaraan mewah, bahkan belum mempunyai rumah sendiri hingga saat ini.
Barangkali, kita bisa belajar banyak kepada beliau mengenai kesederhanaan dan kebersahajaannya. Yuk!
Kebiasaan MBL naik sepeda onthel dimulai saat kuliah di Yogyakarta. Tidak tanggung-tanggung, jarak antara tempat tinggalnya di Kebumen menuju Yogyakarta dia tempuh dengan naik sepeda onthel.
Setelah menjadi sarjana dan diterima sebagai hakim, MBL tidak melupakan kesederhanaan itu.
Meski sudah berpindah-pindah di 10 wilayah Indonesia sebagai hakim, dia selalu menggunakan sepeda onthel untuk transportasi ke kantornya.
Tiap kali pindah tugas, yang dia cari pertama kali di tempat barunya adalah sepeda onthel karena tidak mungkin membawa-bawa sepeda onthel dari tempat tugas satu ke tempat tugas lainnya.
Salah satu kesederhanaan MBL yaitu memakai sepeda ontel ke kantornya. Seperti terlihat saat bertugas di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto atau di Pengadilan Tinggi (PT) Palangkaraya.
Satu diantara tiga sepedanya yang saat ini dia simpan di rumahnya di Kutowinangun, Kebumen, Jawa Tengah merupakan satu-satunya koleksi yang sangat dia banggakan.
Sepeda balap bermerk Bianchi itu merupakan sepeda yang hanya diproduksi terbatas oleh produsen sepda tersebut dalam edisi ulang tahunnya
Namun kebiasaan menggunakan sepeda saat menuju pengadilan tidak lagi dilakukannya di Pengadilan Tinggi (PT) Jayapura sebab rumah dinas dan kantornya masih satu komplek.
Sebagai gantinya, ia memilih naik angkutan umum. Tetap tidak mau membeli kendaraan pribadi. Kadang juga jalan kaki karena rumah dinas di Jayapura dengan tempat kerja dekat, hanya 50 meter jadi cukup jalan kaki.
Kesederhanaan sebagai hakim selama puluhan tahun juga membuatnya tidak mampu membeli mobil.
Dirinya baru bisa membeli Kijang Innova pasca kenaikan tunjangan hakim awal 2013 lalu. Itu pun diberikan kepada istrinya untuk mempermudah berjualan roti.
Integritasnya juga membuatnya enggan memotong jalan pintas. Hal itu terbukti MBL lebih memilih tetap tinggal di rumah warisan istrinya dan belum bisa mencicil membeli rumah sejak menjadi hakim hingga kini.
Koleganya juga mengenal MBL sebagai hakim yang teguh pendirian dan berani menentang penindasan terstruktur. Hal itu bukan omongan kosong belaka yaitu terbukti saat MBL menolak bergabung dengan Golkar di era Orde Baru.
Di mana saat itu seluruh hakim di Indonesia harus bergabung menjadi anggota Golkar tanpa kecuali.
Atas penentangan terhadap rezim otoriter itu, MBL harus menerima skorsing bertahun-tahun tidak berhak mengadili perkara satu pun.