Oleh
Ustadz Muhammad Ashim bin Musthofa
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِسْمَاعِيلَ ۚ إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُولًا نَبِيًّا وَكَانَ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَكَانَ عِنْدَ رَبِّهِ مَرْضِيًّا
“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al-Qur`ân. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi. Dan ia menyuruh ahlinya untuk bersembahyang dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Rabbnya” [Maryam/19:54-55]
PENJELASAN AYAT
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِسْمَاعِيلَ ۚ إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ
“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al-Qur`an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya”.
Pada ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menceritakan tentang kakeknya, yaitu Nabi Ismâ’îl [1]. Dialah yang nantinya menjadi cikal-bakal bangsa Arab, yang merupakan suku terbaik dan paling agung. Dari kalangan mereka inilah terlahir penghulu anak Âdam, yaitu Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam [2].
Dalam ayat ini pula, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyanjung Nabi Ismâ’îl bin Ibrâhîm al-Khalîl Alaihissalam bahwa (Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya) [3]. Ia tidak mendustai janjinya dan tidak berbuat ingkar. Bila sudah berjanji kepada Rabbnya atau kepada sesama manusia, niscaya akan memenuhinya [4]. Sifat terpuji yang beliau miliki ini umum, baik janji yang ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala maupun kepada sesama manusia.[5]
Kuatnya kesetiaan yang melekat pada Nabi Ismâ’îl Alaihissalam dalam masalah janji, di antaranya dibuktikan dengan komitmennya saat berjanji kepada sang ayah, Nabi Ibrâhîm agar ia bersabar saat diberitahukan akan disembelih oleh ayahnya sendiri atas petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui mimpi. Dan Nabi Ismâ’îl pun memenuhi janji tersebut.
Syaikh asy-Syinqithi rahimahullah mengatakan, seseorang yang sanggup memenuhi janjinya dengan menyerahkan diri untuk disembelih, sungguh itu termasuk bukti meyakinkan tentang kebenaran janjinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapati aku termasuk orang-orang yang sabar”. [Ash- Shâffât/37:102].
Demikianlah janji Nabi Ismâ’îl, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan jika Nabi Ismâ’îl menepati janjinya, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ
“Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya)…. [Ash-Shâffât/37:103] [6]
Dan Nabi Ismâ’îl pun menepati janji tersebut. Kemudian menyuruh sang ayah untuk menyembelih dirinya, sebuah cobaan paling besar yang menimpa seorang manusia.[7]
Peristiwa ini, benar-benar merupakan ujian yang sangat besar, sehingga perbuatan menepati janji yang telah dilakukan itu termasuk perilaku terpuji. Dan sebaliknya, berdasarkan dalîl khithâb – mafhûm mukhâlafah -, mengingkari suatu janji, maka terhitung sebagai bagian dari sifat-sifat tercela. Penjelasan masalah ini telah diuraikan di sejumlah ayat dalam Kitabullah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
فَأَعْقَبَهُمْ نِفَاقًا فِي قُلُوبِهِمْ إِلَىٰ يَوْمِ يَلْقَوْنَهُ بِمَا أَخْلَفُوا اللَّهَ مَا وَعَدُوهُ وَبِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ
“Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai pada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan (juga) karena mereka selalu berdusta” [At-Taubah/9:77]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan. [Shâf/61:2-3], dan lain-lain.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ : إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخَْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Tanda orang munafik ada tiga; jika berbicara ia berdusta, jika berjanji ia mengingkari, jika dipercaya ia berkhianat.” [HR al-Bukhari no. 33; Muslim, no. 59, dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu].[8]
Dengan demikian kita mengetahui, bahwa mengingkari janji merupakan bagian dari karakter kaum munafiqin. Sebaliknya, menepati janji termasuk sifat kaum mukminin. Begitu pula pribadi yang melekat pada diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau ialah seorang yang benar dengan janjinya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berjanji, melainkan pasti menepatinya.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah memuji Abul-‘Ash bin ar-Rabî’, suami dari Zainab. Kata beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Abul-‘Ash bin ar-Rabî’:
حَدَّثَنِيْ فَصَدَّقَنِيْ وَوَعَدَنِيْ فَوَفَّى لِيْ
“Dia telah berbicara kepadaku dan berkata jujur, berjanji kepadaku dan menepatinya”. [HR al-Bukhâri, no. 3729 dan Muslim, no. 2449].
Sikap menepati janji ini termasuk salah satu faktor yang telah mengangkat derajat Nabi Ismâ’îl Alaihissalam, sehingga berhak disebut dalam al-Qur`anil-‘Azhîm.[9] Mengapa Nabi Ismâ’îl diistimewakan dengan sanjungan ini, bukankah tidak ada nabi yang memiliki sifat mengingkari janji?
Jawabnya, sifat menepati janji melekat pada semua nabi. Secara khusus dikaitkan kepada Nabi Ismâ’îl sebagai bentuk tasyrîf (kemuliaan) beliau, lantaran besarnya cobaan yang harus dialami beliau Alaihissalam untuk menepati janjinya, yang tidak terjadi pada nabi-nabi lainnya. Sifat ini termasuk kebiasaan yang dipuji oleh bangsa Arab dan bangsa-bangsa lainnya.
Dalam sebuah syair diilustrasikan:
مَتَى مَا يَقُلْ حُرٌّ لِصَاحِبِ حَاجَةٍ نَعَمْ َيَقْضِهَا وَالْحُرُّ للْوَأيش ضَامِنُ
Kapan saja seorang yang merdeka berkata kepada orang yang memiliki keperluan “baiklah”, niscaya akan menyelesaikannya. Orang merdeka menjamin janjinya.[10]
وَكَانَ رَسُولًا نَبِيًّا
“dan dia adalah seorang rasul dan nabi”
Nabi Ismâ’îl Alaihissalam diutus Allah ke bangsa Jurhum [11]. Imam Ibnu Katsir t menyimpulkan, di dalam ayat ini mengandung pengertian bahwa kemuliaan Nabi Ismâ’îl berada di atas saudaranya, yaitu Nabi Ishâq. Sebab, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut Nabi Ishâq Alaihissalam dengan gelar nubuwwah saja [12], sedangkan Nabi Ismâ’îl Alaihissalam memperoleh dua anugerah sekaligus, yaitu nubuwwah dan risâlah [13]. Dengan itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan Ismâ’îl termasuk kalangan yang memiliki kedudukan tinggi.[14]
وَكَانَ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ
“Dan ia menyuruh ahlinya untuk shalat dan menunaikan zakat”.
Ini juga merupakan sanjungan yang baik, budi pekerti terpuji dan perilaku yang lurus. Nabi Ismaa’il Alaihissalam senantiasa berada di dalam ketaatan kepada Rabbnya dan memerintahkan kepada keluarganya untuk tetap istiqomah dengan ketaatan itu. Sebagaimana firman Allah kepada Rasul-Nya :
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya…. ” [Thâhâ/20:132]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka …. – at- Tahrîm/66 ayat 6-, dan sudah diketahui bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengaplikasikan perintah ini.[15]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menguatkan makna ini dengan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
رَحِمَ اللهُ رَجُلاً قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِيْ وَجْهِهَا الْمَاءَ
“Semoga Allah merahmati seorang lelaki yang bangun pada malam hari lantas mengerjakan shalat (malam). Kemudian ia membangunkan istrinya. Jika istrinya menolak, maka ia memercikkan air di wajah istrinya. ” [HR Abu Dawud no. 1450, Ibnu Mâjah no. 1336]
Jadi, menggiatkan keluarga untuk bersama-sama beribadah merupakan faktor lain yang bisa mendatangkan kemuliaan dan kenikmatan Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi Nabi Ismâ’îl Alaihissalam, sehingga namanya disebutkan di dalam al-Qur`ânil-Karim.[16]
وَكَانَ عِنْدَ رَبِّهِ مَرْضِيًّا
“dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Rabbnya”.
Seluruh amalan dan ucapannya diridhai lagi terpuji dalam menjalankan apa yang dibebankan pada dirinya, tidak kurang dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sisi lain yang menyebabkan Nabi Ismâ’îl menjadi insan yang diridhai di sisi Rabbnya, dikatakan oleh Syaikh as-Sa’di rahimahullah, lantaran ia menjalankan apa-apa yang diridhai Rabbnya Subhanahu wa Ta’ala, kesungguhannya dalam urusan-urusan yang diridhai-Nya. Maka Allah pun meridhai dan memasukkannya ke dalam golongan hamba-hamba-Nya yang paling istimewa, dan para wali-Nya yang didekatkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhainya dan ia ridha kepada Rabbnya.
PELAJARAN DARI DUA AYAT DI ATAS
1. Ketetapan mengenai kenabian Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab Dzat yang telah mengangkat para nabi yang disebutkan dalam surat Maryam dan menjadikan mereka utusan-utusan Allah, maka tidak ada alasan mengingkari kenabian dan kerasulan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Keutamaan memerintahkan shalat dan membayar zakat.
3. Keutamaan menepati janji dan bersikap jujur, baik dalam ucapan maupun tindakan.
4. Mempunyai sifat kebenaran dalam berjanji merupakan perbuatan terpuji.
5. Sifat mengingkari janji merupakan perbuatan tercela.
Wallahu a’lam.
Maraji`:
1. Al-Qur`ân dan Terjemahannya, Cet. Mujamma’ Malik Fahd Madinah.
2. Adhwâ-ul Bayân fi Îdhâhil-Qur`ân bil-Qur`ân (Tatimmah li Syaikh ‘Athiyyah Muhammad Sâlim), Maktabah Ibnu Taimiyyah, Mesir, 1415 H – 1995 M.
3. Ahkâmil-Qur`an, Abu Bakr Muhammad bin ‘Abdullah (Ibnul-‘Arabi), Tahqîq: ‘Abdur-Razzâq al-Mahdi, Dârul-Kitâbil-‘Arabi, Cet. I, Th. 1421 H – 2000 M.
4. Aisarut-Tafâsîr fi Kalâmil-‘Aliyyil-Kabîr, Abu Bakr Jâbir al-Jazâiri, Maktabah ‘Ulum wal- Hikam, Cet. VI, Th. 1423 H – 2003 M.
5. Al-Jâmi li Ahkâmil-Qur`ân (Tafsir al-Qurthubi), Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al- Anshâri al-Qurthubi, Tahqiq: ‘Abdur-Razzâq al-Mahdi, Dârul-Kitâbil-‘Arabi, Cet. IV, Th. 1422 H – 2001 M.
6. Jâmi’ul-Bayân ‘an Ta`wil Ay Al-Qur`ân, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Dar Ibnu Hazm, Cet. I, Th. 1423 H – 2002 M.
7. Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm, al-Hâfizh Abul-Fidâ Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsîr al-Qurasyi, Tahqîq: Sâmi bin Muhammad as-Salâmah, Dar Thaibah, Cet. I, Th. 1422 H – 2002 M.
8. Taisîrul-Karîmir-Rahmân fi Tafsîri Kalâmin Mannân, ‘Abdur-Rahmân bin Nashir as-Sa’di, Tahqîq: ‘Abdur-Rahmân al-Luwaihiq, Muassasah Risalah.
9. Shahihu Qashashil Anbiyâ (karya Imam Ibnu Katsir) Saliim bin ‘Id al Hilâli, Maktabah al-Furqân, Cet. I, Th. 1422 H.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XI/1428H/2007. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Adhwâ`ul-Bayân (4/322)
[2]. At-Taisîr, 529
[3]. Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (5/238), al-Jâmi’u li Ahkâmil-Qur`ân (11/106).
[4]. Jâmi’ul-Bayân (16/126).
[5]. Zâdul-Masîr (3/135).
[6]. Adhwâ`ul-Bayân 4/322. Muncul perdebatan soal adz-dzabîh (siapa yang disembelih), apakah Nabi Ismâ’îl ataukah Nabi Ishâq? Hasil tahqiq menyebutkan, yang disembelih ialah Nabi Isma’il . Lihat al- Jâmi’u li Ahkâmil-Qur`ân (11/106), Shahîhu Qashashil-Anbiyâ, 134-136.
[7]. Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (5/239), at-Taisîr, 529.
[8]. Lihat Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (5/239), Adhwâ`ul-Bayân (4/322).
[9]. Aisarut-Tafâsîr (1/734).
[10]. Zâdul-Masîr (3/135), Jâmi’ul-Bayân (11/107).
[11]. Zâdul-Masîr (3/135), Ma’â’limut-Tanzîl (5/237).
[12]. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: Dan Kami beri dia kabar gembira dengan (kelahiran) Ishaaq seorang nabi yang termasuk orang-orang yang shalih. (Qs ash-Shâffât/37:112).
[13]. Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (5/240).
[14]. At-Taisîr, 529.
[15]. Adhwâ`ul-Bayân (4/322).
[16]. Aisarut-Tafâsîr (1/734).
[17]. Jâmi’ul-Bayân (16/127) Aisarut-Tafâsîr (1/735).
[18]. At-Taisîr, 529.
EmoticonEmoticon